GADGETMAX.id — Perkembangan teknologi selalu hadir dalam dua wajah: kemudahan dan tantangan. Kita sudah merasakannya sejak internet mulai hadir secara komersial di Indonesia pada 1995. Kala itu, akses informasi terasa begitu luar biasa. Namun, bersamaan dengan itu, kita juga diperhadapkan pada masalah baru: bagaimana memilah kebenaran di tengah derasnya arus data.

Hari ini, lebih dari dua dekade setelah internet menjadi bagian hidup kita, tantangan itu muncul kembali, tetapi dalam bentuk yang jauh lebih kompleks: kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Kalau dulu kita hanya berurusan dengan teks, kini kita harus berhadapan dengan informasi dalam format yang jauh lebih kaya—gambar, suara, bahkan video—yang semuanya bisa dihasilkan secara otomatis oleh mesin. Pertanyaannya: bagaimana membedakan mana yang otentik dan mana yang sekadar rekayasa?

AI jelas membawa banyak kemudahan. Dari menulis artikel, menganalisis data, hingga menciptakan karya visual, semuanya bisa dilakukan hanya dengan satu perintah sederhana. Namun, kemudahan ini juga melahirkan sisi gelap. Potensi penyebaran informasi palsu menjadi jauh lebih besar. Bagi mereka yang kurang terlatih dalam literasi digital, sebuah video hasil rekayasa AI bisa terlihat meyakinkan—bahkan lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Di sinilah risiko terbesar: masyarakat menjadi rentan terjebak dalam manipulasi.

Maka, literasi digital kini bukan lagi sekadar kemampuan teknis untuk mengoperasikan perangkat atau berselancar di internet. Literasi digital harus dimaknai sebagai keterampilan kritis: memahami bagaimana informasi diproduksi, disebarkan, dan divalidasi. Tanpa itu, kesenjangan akan semakin melebar. Generasi yang lebih tua atau mereka yang kurang akrab dengan teknologi akan tertinggal, bahkan mudah menjadi korban misinformasi.

Kita tentu tidak bisa menolak perkembangan AI. Teknologi ini akan terus tumbuh, menembus ruang kerja, pendidikan, hingga interaksi sosial kita. Tapi agar AI benar-benar menjadi alat yang memperkuat manusia, bukan justru melemahkannya, pendidikan digital harus ditempatkan sebagai prioritas. Tidak cukup hanya di sekolah, tapi juga dalam praktik kehidupan sehari-hari.

AI seharusnya tidak dilihat sebagai mesin yang membingungkan, melainkan sebagai mitra yang membantu kita menjadi lebih produktif dan kreatif. Agar itu terwujud, setiap orang perlu membekali diri dengan sikap kritis, adaptif, dan bertanggung jawab dalam menggunakan teknologi.

Di era AI ini, memilah informasi bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Maka, mari kita tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi pengguna yang cerdas. Sebab hanya dengan begitu, kita bisa tetap berdaulat di tengah derasnya gelombang digital.

Selamat berselancar di dunia maya dengan bijak.

Oleh: Oki Rosgani

By rosgani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *