GADGETMAX.id — Perkembangan teknologi internet telah menghadirkan babak baru dalam sejarah komunikasi manusia. Data ComScore pada Januari 2017 mencatat lebih dari 63,6 juta pengguna internet di Indonesia. Angka itu kini tentu jauh lebih besar, dan artinya kita hidup dalam masyarakat yang semakin terkoneksi, dimana informasi berpindah begitu cepat tanpa mengenal batas ruang dan waktu.

Dalam konteks politik, media sosial telah menjelma menjadi medium yang tak bisa lagi dipandang sebelah mata. Jika dahulu baliho, spanduk, atau iklan di televisi menjadi senjata utama para politisi, kini cuitan di Twitter atau unggahan di Facebook bisa jauh lebih efektif. Media sosial tidak hanya memperluas jangkauan pesan, tetapi juga menghadirkan interaksi yang dinamis antara politisi dan masyarakat.

Sifat dasar media sosial adalah keterhubungan—setiap orang bisa mempengaruhi orang lain, dan pengaruh itu berlipat ganda seperti sistem multi-level-marketing. Sekali sebuah gagasan dilemparkan, ia bisa menjalar ke ribuan bahkan jutaan orang hanya dalam hitungan menit. Di sini letak kekuatan yang menjadikan media sosial sebagai “peng-kali”, bukan sekadar pelengkap dari strategi komunikasi politik.

Namun, efektivitas media sosial bukan berarti jalannya instan. Justru sebaliknya: kampanye di media sosial membutuhkan konsistensi, kesabaran, dan keberanian berdialektika. Para politisi yang hanya mengandalkan janji-janji kosong akan mudah tersingkir, karena netizen bukanlah massa yang bisa digiring dengan iming-iming sesaat. Mereka kritis, terbiasa membandingkan informasi, dan hanya akan memberi simpati pada politisi yang otentik, peduli, serta terbuka berdiskusi.

Media sosial pada akhirnya hanya akan menguntungkan politisi yang mau “turun tangan” secara langsung di dunia digital. Artinya, mereka tidak cukup hanya memposting slogan, tetapi juga aktif menjawab komentar, berdialog, bahkan berdebat sehat dengan publik. Di sinilah kualitas berpikir, keluasan wawasan, dan sensitivitas sosial seorang politisi benar-benar diuji.

Namun, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap sisi gelap media sosial. Penyebaran hoaks, kampanye hitam, hingga praktik propaganda terselubung dengan akun anonim telah menjadi tantangan serius. Jika dibiarkan, fenomena ini tidak hanya merusak kualitas demokrasi, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik pada ruang digital. Oleh karena itu, regulasi seperti Permenkominfo No. 14/2014 perlu ditegakkan lebih tegas, didukung aturan KPU dan Bawaslu yang relevan dengan era digital.

Media sosial, dengan segala potensi dan bahayanya, ibarat sebilah pisau: ia bisa menjadi alat yang sangat bermanfaat di tangan orang yang tepat, atau justru mematikan bila dipakai secara salah. Bagi saya, setidaknya hari ini media sosial masih berfungsi sebagai penyeimbang, terutama ketika media mainstream mulai diragukan independensinya.

Masa depan politik Indonesia akan sangat ditentukan oleh bagaimana kita semua—baik politisi maupun publik—menggunakan media sosial. Apakah ia akan menjadi ruang yang sehat bagi gagasan, atau sekadar ladang subur bagi hoaks dan kebencian, jawabannya ada pada kesadaran kita bersama.

Oleh: Oki Rosgani

By rosgani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *