GADGETMAX.id — Ketika masyarakat dunia tengah akrab menggunakan kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT atau Google Gemini untuk menulis email, membuat gambar, hingga mengotomatisasi tugas, para raksasa teknologi dunia justru tengah membidik sesuatu yang jauh lebih ambisius: Artificial Superintelligence (ASI), atau kecerdasan buatan super.
CEO perusahaan besar seperti Mark Zuckerberg (Meta) dan Elon Musk (Tesla) disebut tengah berlomba untuk mencapai tingkatan tertinggi dalam evolusi AI ini — sebuah sistem yang diklaim mampu melampaui kecerdasan manusia di hampir semua aspek.
Dari AI hingga Superintelligence
AI yang kita kenal sekarang disebut narrow AI atau kecerdasan buatan terbatas. Jenis ini dirancang untuk menjalankan tugas tertentu — misalnya menghasilkan teks, gambar, atau video — dan masih membutuhkan campur tangan manusia.
Tahapan berikutnya adalah Artificial General Intelligence (AGI), yaitu sistem yang memiliki kemampuan kognitif setara manusia. AGI akan mampu berpikir, belajar, dan mengambil keputusan tanpa perlu pelatihan spesifik untuk setiap tugas.
Namun, Artificial Superintelligence (ASI) melangkah lebih jauh lagi. ASI dirancang untuk melampaui kemampuan manusia dalam hampir semua bidang — dari menulis kode, melakukan pembedahan, hingga mengemudikan kendaraan, bahkan secara bersamaan.
Filsuf Nick Bostrom menggambarkan superintelligence sebagai “setiap kecerdasan yang melampaui kemampuan kognitif manusia dalam hampir semua bidang yang relevan.”
AI yang Dapat Mengembangkan Dirinya Sendiri
Berbeda dengan AI saat ini yang membutuhkan manusia untuk memperbarui kode dan menambah data, ASI diperkirakan mampu memperbaiki dan mengembangkan dirinya sendiri. Secara hipotetis, sistem ini bisa menulis ulang algoritmanya, menciptakan kemampuan baru, dan memperluas kendalinya tanpa instruksi manusia.
Kendati konsepnya masih bersifat teoritis, sejumlah ahli memperingatkan bahwa jika sistem seperti ini benar-benar tercapai, manusia berpotensi kehilangan kendali. Bahkan, beberapa pakar memprediksi bahwa ASI bisa terwujud dalam waktu satu dekade ke depan, seiring derasnya investasi miliaran dolar dari perusahaan dan investor besar di bidang ini.
Ilya Sutskever, salah satu pendiri OpenAI, misalnya, keluar dari perusahaan pada 2024 dan mendirikan startup baru yang berfokus pada pengembangan ASI yang aman. Ia telah mengumpulkan pendanaan besar bahkan sebelum meluncurkan produk apapun.
Menariknya, pada 2023, Sutskever bersama CEO OpenAI Sam Altman dan Presiden Greg Brockman pernah menyerukan perlunya regulasi pengembangan ASI, memperingatkan bahwa teknologi ini berpotensi menjadi “risiko eksistensial” bagi manusia.
Antara Harapan dan Ketakutan
ASI diyakini dapat membantu manusia memecahkan persoalan paling rumit dalam kehidupan, dari perubahan iklim hingga penyakit global. Beberapa ahli bahkan menyebutnya sebagai “penemuan terakhir manusia,” karena setelah itu, mesin bisa menciptakan penemuan berikutnya tanpa bantuan manusia.
Namun, di balik potensi besarnya, bayangan ancaman juga kian nyata. AI generatif saja sudah mulai menggantikan peran manusia di berbagai bidang pekerjaan. Dengan hadirnya AGI dan ASI, ancaman kehilangan pekerjaan dalam skala besar bisa menjadi kenyataan.
Lebih dari itu, sejumlah pakar menilai risiko terbesarnya bukan hanya ekonomi, tetapi juga eksistensial. Jika mesin berpikir dan membuat keputusan sendiri tanpa kendali manusia, potensi penyalahgunaan atau bahkan pemberontakan sistemik bisa menjadi ancaman serius bagi keamanan nasional, dan bahkan keberlangsungan umat manusia.
Pada Oktober 2025, sejumlah tokoh ternama menandatangani pernyataan publik yang menyerukan penghentian sementara pengembangan ASI sampai ada kesepakatan global mengenai keamanannya. Di antara mereka ada Steve Wozniak (pendiri Apple), Demis Hassabis (CEO Google DeepMind), Geoffrey Hinton, Yoshua Bengio, dan Dario Amodei (CEO Anthropic).
Fakta bahwa para pionir AI sendiri menyerukan kehati-hatian menunjukkan besarnya risiko yang dihadapi.
Menuju Masa Depan AI yang Aman
Perkembangan kecerdasan buatan super memang membuka pintu menuju peradaban baru. Namun, di saat yang sama, manusia dihadapkan pada tanggung jawab besar: memastikan kemajuan teknologi tidak berbalik menjadi ancaman bagi penciptanya.
ASI bukan sekadar inovasi teknologi — ia adalah ujian moral, sosial, dan eksistensial bagi umat manusia. Dan pertanyaannya kini bukan lagi kapan superintelligence akan datang, tetapi apakah kita siap menghadapinya dengan bijak.
